Archive for February, 2011

menjadi orang baik

Oleh: Eni Kusuma*
“Menjadi orang baik sebenarnya sebuah proses untuk kembali
kepada fitrah kita sebagai manusia yang sesungguhnya.”
~ Eni Kusuma
Konon, menjadi orang yang baik itu sulit dan identik dengan menderita, sehingga sangat tidak nyaman. Betapa tidak menderita, jika menjadi orang baik itu harus mengalah, sabar, menahan diri, jujur, tidak egois, bahkan tidak memikirkan kesenangan pribadi. Apalagi, jika kita dicekoki tayangan-tayangan televisi seperti sinetron yang memperlihatkan betapa menderitanya menjadi orang baik, selalu menjadi bulan-bulanan tokoh antagonis atau tokoh jahat. Akhir cerita pun juga tidak nyaman yaitu harus memaafkan, yang merupakan bagian dari sifat orang baik. Benarkah menjadi orang baik sangat tidak nyaman?
Menjadi orang baik sebenarnya sebuah proses untuk kembali kepada fitrah kita sebagai manusia yang sesungguhnya. Maka, manifestasi dari sifat baik adalah berbuat baik pada diri sendiri, berbuat baik pada orang lain, berbuat baik pada lingkungan, dan mengikhlaskan ketaatan kepada Sang Pencipta, secara seimbang. Jika orang lain kita anggap atau kita nilai tidak baik, tidak adil terhadap kita, itu bukan urusan kita. Urusan kita adalah menjaga agar kita tetap menjadi orang baik dengan mengendalikan diri agar keseimbangan emosi kita tetap terjaga.
Di hari Minggu, Anda ingin bersama kekasih Anda. Tetapi, di telepon ia mengatakan bahwa ia harus mengantar ibunya berbelanja, setelah itu ia harus menemui dosennya untuk membicarakan skripsinya. Daripada bete, Anda berinisiatif makan siang sendiri di restoran. Sebenarnya, restoran itu tempat favorit Anda bersama sang kekasih. Tak disangka, ketika Anda baru saja memasukkan makanan ke dalam mulut, Anda melihat sosok yang Anda kenal dengan seorang perempuan.
Ternyata kekasih Anda sedang makan di situ dengan perempuan lain. Anda tidak beranjak untuk memastikan apakah perempuan seusia Anda itu hanya teman atau kekasihnya. Dari tingkah lakunya, Anda pun bisa memastikan jika perempuan itu kemungkinan adalah kekasihnya. Anda pun kemudian meneleponnya melalui HP. Dan jawabannya sama, ia sedang berada di supermarket bersama ibunya. Apa reaksi Anda selanjutnya?
Saya tidak heran jika Anda marah dan jengkel. Saya pun maklum jika Anda ingin melabrak mereka habis-habisan. Anda pun berpikir, betapa tega kekasih Anda, sedangkan Anda sudah berusaha menjadi yang terbaik baginya. Banyak di antara kita jika mendapati situasi yang sama seperti di atas, akan langsung kehilangan kontrol diri dan marah-marah pada pasangan yang sudah terang-terangan tidak jujur itu.
Tetapi, jika Anda tetap tenang menghadapi kejadian seperti itu dengan mempersepsi bahwa pasangan Anda itu bukan yang terbaik bagi Anda, dan Anda sangat beruntung mengetahuinya sekarang daripada mengetahuinya setelah Anda menikah dengannya. Maka, Anda akan dengan sangat mudah mengambil keputusan dan tindakan.
Suatu hari, Anda diundang makan malam oleh seorang teman yang sangat berterima kasih kepada Anda karena kebaikan Anda yang telah membantunya. Anda disuguhi sate daging, menu kesukaan Anda. Setelah selesai acara makan malam, tiba-tiba teman Anda mengatakan jika daging sate itu adalah daging tikus. Apa reaksi Anda? Mungkin Anda mual mau muntah. Saya juga tidak heran jika Anda pun marah dan jengkel karena teman Anda telah “ngerjain” Anda. Ada dua kemungkinan. Pertama, daging itu bukan daging tikus, dan yang kedua daging itu benar-benar daging tikus. Tetapi terlepas dari itu semua, toh semua sudah terlanjur dan percuma kalau marah-marah. Jika Anda tetap terkendali, maka teman Anda yang “ngerjain” itu akan heran dan salut terhadap Anda.
Jika kita menemui kejadian yang kita rasa tidak adil, dan kita melampiaskan kemarahan dan kejengkelan kita, kita sebenarnya sedang membangun ‘penderitaan’. Demikian juga jika kita terpaksa “menahan diri” untuk tidak melampiaskan amarah dan kejengkelan kita, kita juga sebenarnya sedang membangun ‘penderitaan’.
Yang pertama, jika kita marah tak terkendali dan terlampiaskan, maka dampak lanjutannya ialah sistem hormonal dalam tubuh kita berjalan tidak wajar, sehingga kita tidak hanya sakit secara mental-emosional, tetapi juga secara fisik. Yang kedua, jika kita terpaksa “menahan diri”, maka kita sangat tidak nyaman dalam menjalaninya karena yang dilakukan hanyalah keterpaksaan. Padahal mestinya ‘pengendalian diri’ untuk sabar, mengalah, dan lain-lain tidak membawa kita kepada belenggu yang menyengsarakan, melainkan membawa kita kepada ‘kebebasan’ yang membahagiakan. Pengendalian diri yang baik adalah yang bisa membawa kita kepada kebahagiaan dan kenyamanan hidup ketika kita bisa berlaku tidak emosional.
Ada keuntungan-keuntungan yang kita peroleh jika kita tidak emosional:
1. Fisik dan psikis lebih sehat
Apabila kita memikirkan keadaan sakit, pertama kali selalu terpikirkan oleh kita adanya luka atau rasa sakit di luar maupun di dalam badan sebagai penyebabnya. Tetapi aspek mental, pikiran, dan perasaan kita yang tidak seimbang yang disebabkan oleh ketidakmampuan kita mengendalikan emosi juga dapat menimbulkan rasa sakit dan penderitaan, walaupun secara klinis tidak ada yang “salah” dengan fisik kita. Tetapi jika mental, pikiran, dan perasaan kita seimbang karena kemampuan kita mengendalikan emosi, maka kita akan sehat baik fisik maupun psikis.
2. Pikiran lebih jernih
Kita tahu pikiran jernih disebabkan oleh dua hal, pertama karena makan tidak terlalu kenyang, sehingga tidak akan mengganggu kerja otak yang disebabkan oleh kantuk. Yang kedua karena emosi yang rendah. Karena emosi yang tinggi menyebabkan kita suntuk, jengkel, dan tidak terkontrol sehingga pikiran kita tidak jernih. Maka, seseorang yang tidak makan terlalu kenyang dengan emosi yang rendah atau terkendali ditengarai lebih jernih dalam menghadapi segala macam persoalan hidup.
3. Sikap lebih bijaksana
Jika pikiran kita jernih maka kita akan bijaksana. Sebaliknya, jika kita tidak bisa berpikir jernih, sudah dipastikan tidak bijaksana.
Terbukti, kan jadi orang baik yaitu sabar, mengalah, tenang, dan bijaksana membuat kita menjadi nyaman dalam menjalani hidup, bukannya menderita. Bahkan, lebih banyak manfaatnya daripada ruginya.Yang jelas, emosi yang tinggi lebih banyak ruginya. Bagaimana menurut pendapat Anda?[ek]
* Eni Kusuma adalah nama pena Eni Kusumawati yang lahir di Banyuwangi pada 27 Agustus, 31 tahun yang lalu. Ia berangkat dari menulis puisi dan fiksi. Puisinya dibukukan bersama seratus penyair Indonesia “Yogya, 5,9 skala richter”, sementara cerita fiksinya bertebaran di berbagai media dan juga dibukukan. Ia bercita-cita mendirikan sekolah gratisdan rumah baca di daerahnya di Banyuwangi. Pendidikan formal terakhir di SMUN 1, Banyuwangi, lulus tahun 1995. Sementara, pendidikan nonformalnya, S-1 di Pembelajar.Com (2006 sampai sekarang), dan S-2 di Andaluarbiasa.Com (15 Januari 2009 sampai sekarang). Eni menjadi pembantu rumah tangga di Hong Kong tahun 2001-2007. Eni, yang ketika kecil menderita gagap bicara ini, kini menjadi seorang motivator dan telah memberikan seminarnya di berbagai perusahaan, lembaga sosial, birokrasi pemerintahan, serta berbagai kampus di seluruh Indonesia. Eni adalah penulis buku laris Anda Luar Biasa!!! (Fivestar, 2007). Silahkan hubungi Eni di ek_virgeus@yahoo.co.id atau enikusuma@ymail.com , HP 081 389 641 733. Website: Pembelajar.com dan Andaluarbiasa.com

brosur